Minggu, 03 April 2011

WISATA BUAH PETIK SENDIRI BERASTAGI

Tugu perjuangan Tanah Karo
Berastagi adalah tujuan wisata utama di Tanah Karo yang terletak di ketinggian sekitar 4.594 kaki dari permukaan laut dan dikelilingi barisan gunung-gunung, memiliki udara yang sejuk dari hamparan perladangan pertaniannya yang indah, luas, hijau. Brastagi merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki fasilitas lengkap di Tanah Karo, seperti hotel berbintang, restoran, golf dan lain-lain sampai kepada hotel yang tarifnya relatif dapat terjangkau. Brastagi juga dikenal dengan julukan kota “Markisa & Jeruk Manis”. Dari kota “Markisa & Jeruk Manis” Brastagi, para pengunjung akan menikmati pemandangan yang indah ke arah pegunungan yang masih aktif, yaitu gunung Sibayak dan gunung Sinabung.Untuk mendaki gunung Sibayak diperlukan waktu lebih kurang 3 jam perjalanan dan kita bisa menikmati pemandangan yang indah di pegunungan tersebut atau perlu waktu 3 sampai 4 jam perjalanan di hutan untuk melihat kekayaan alam di dalamnya baik flora maupun fauna di sekitar hutan tersebut.Di Berastagi juga banyak petani yang menjadikan kebun jeruknya sebagi tempat wisata. Keluarga yang ingin menikmati memetik jeruk dari pohonya  bisa  mengunjungi kota Berastagi.Kebun petik sendiri ini banyak ditemukan pada ladang petani dipinggiran jalan menuju Pematang Siantar. Tentu saja buah jeruk yang kita petik sendiri dari pohonya memiliki nilai yang berbeda dengan jeruk yang dibeli dipasar. Wisata serperti ini sangat menarik dan dapat menciptakan suasana berbeda dengan wisata lainya.Dengan mengunjungi kebun petik sendiri dapat menambah pengetahuan kita mengenai tanaman  jeruk dan cara memanen buah  jeruk.

GUA KEMANG, SITUS BERSEJARAH

Gua kemang dari samping


Sebongkah batu besar yang ditutupi lumut berdiri kokoh di atas sebidang tanah. Ada yang istimewa dari batu ini, ada pintu dan ruangan di dalamnya. Pada dinding-dinding luar gua terdapat ukiran yang menyerupai bentuk tubuh manusia namun dalam ukuran yang kecil, menurut masyarakat ukiran bentuk tubuh tersebut adalah ukuran tubuh umang. Masyarakat setempat meyakininya sebagai rumah Umang, orang Bunian di Tanah Karo.
Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu kala di Kampung Uruk Rambuten (sebuah kampung kecil di Tanah Karo), hiduplah seorang peladang dikampng tersebut. Dia membuat perjanjian dengan umang (orang bunian) untuk membantunya menggarap ladangnya. Umang menyetujui perjanjian peladang tersebut dengan syarat tidak boleh satu orang pun mengetahui jika peladang tersebut sudah dibantu oleh umang untuk mengerjakan ladangnya.
Mulut gua, 50x50 cm
Ahirnya peladang tersebut dibantu oleh umang dan kawan-kawanya. Ladang yang seharusnya tidak bisa diselesaikan dalam satu hari karena dibantu umang selesai lebih cepat.Hal ini menimbulkan kecurigaan pada isteri peladang tersebut sehingga diam-diam isteri peladang mengikuti suaminya keladang tampa sepengetahuan suaminya.Isteri peladangpun terkejut karena melihat banyak mahluk kerdil (umang) yang bekerja diladangnya. Ketika umang mengetahui bahwa isteri petani berada diladang dan melihat aktivitas mereka maka perjanjian umang dengan peladang pun batal. Ladang yang telah bersih digarap,  kembali menjadi hutan belantara. Ketika hutan tersebut dibersihkan kembali ditemukanlah batu besar yang memiliki pintu dan ruangan didalamnya dan batu inilah yang sekarang disebut sebagai Gua umang. “Umang” merupakan bahasa Karo yang berarti jin atau roh. Seperti diceritakan oleh Tolen Ketaren, fisik dari Umang seperti manusia, tapi lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap ke depan
sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang.Gua batu yang ditemukan oleh masyarakat setempat pada zaman penjajahan Belanda ini, pernah hendak diangkat untuk dipindahkan ke Belanda. Tetapi tidak bisa dipindahkan. Tolen sendiri pun tidak tahu kenapa gua batu ini tidak bisa diangkat. Mungkin ada kaitannya juga dengan kekuatan magisnya.
Sebagian masyarakat meyakini bahwa hingga saat ini kadang-kadang masih ada yang menghuni gua batu tersebut.
Kampung Uruk Rambuten yang dianggap sebagai awal Desa Sembahe, sampai saat ini masih dikenali.Namun tak ada lagi penduduk yang menghuni kampung tersebut. Kampung Uruk Rambuten berada di dekat lokasi jatuhnya pesawat Garuda Indonesia pada 26 September 1997 lalu. Menurut Tolen, ada kemungkinan pesawat tersebut jatuh karena tersangkut pohon beringin besar yang tumbuh di tengah-tengah kampung Uruk Rambuten.
Pintu masuk
Situs Budaya yang Terbengkalai
Gua Kemang berlokasi di Kampung Durintani, Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang. Tepatnya berada di lahan perkebunan seorang penduduk yang juga bermarga Ketaren. Untuk menuju lokasi gua batu ini, kita dapat berjalan kaki sejauh satu kilometer dari simpang Durintani, arah kanan dari Medan.
Tidak susah menemukan simpang Durintani. Ada sebuah plang dari semen yang terdapat di simpang tersebut. “Situs Gua Kemang (Gua Batu), Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, Proyek Pembinaan Kebudayaan APBD Tingkat I Sumatera Utara,” itulah yang tertulis di sana. Ternyata gua batu yang diyakini oleh para arkeolog sebagai peninggalan manusia pra sejarah ini sudah menjadi salah satu situs budaya milik pemerintah.
Kami berangkat dari Medan jam 10 pagi dan sampai di Gua kemang jam 11. Jalan menuju tempat ini kami lalui menggunakan sepeda motor, karena arus lalulintas menuju tempat ini biasanya memang macet jadi menggunakan sepeda motor adalah pilihat yang tepat.Untuk dapat menempuh tempat ini harus melalui jalan yang berbatu dan cukup menanjak dengan menggunakan  sepeda motor dapat ditempuh selama 10 menit.
Akhirnya pintu masuk menuju gua batu ini sudah berada di depan mata. Namun sebuah kondisi yang cukup mengiris hati akhirnya menyambut kami. Pagar dan tembok yang menjaga situs budaya ini sudah berlumut. Begitu pun tangga yang akan mengantar kami hingga ke atas, di mana gua batu berada. Ukiran yang tertulis di tembok pagar sudah hampir tak terbaca akibat lumut yang begitu tebal.
Pernah dibangun parkir dan jalannya oleh Kanwil Depdikbud tahun 75-an ditempat ini namun tidak berkembang sampai sekarang.
Kami pun melanjutkan sisa-sisa perjalanan, menempuh puluhan tangga hingga sampai ke lokasi Gua Kemang yang berada di bagian atas kebun. Kondisi gua ternyata tak jauh beda dengan apa yang kami jumpai sebelumnya. Lumut tebal menyelimuti dinding luarnya. Dua relief serupa manusia yang diyakini sebagai bentuk sosok Umang tersebut tak lagi terlihat jelas. Dulu menurut masyarakat sekitar ada batu-batu lain juga di sekitar gua. Batu-batunya seperti meja, kursi, tapi dirusak Belanda.
Ukiran bentuk tubuh umang
Di bagian depan gua, ada lobang kecil berukuran sekitar 50 x 50 cm dengan pahatan berbentuk segitiga di bagian atasnya. Semacam pintu bagi rumah Umang. Di dalam gua hanya terdapat satu chamber berukuran sekitar 3 x 2 meter dengan tinggi sekitar satu meter. Bagian atas dalam gua mirip dengan atap rumah biasa, mengerucut ke atasnya.Di sisi kanan dan kiri dalam gua, ada dua undakan, seperti tempat tidur. Sedangkan di sebelah kanan ada ruangan kecil memanjang.Selain itu, terdapat juga ukiran-ukiran serupa tulisan Arab di dalam gua di bagian atas pintu. Menurut Tolen, mungkin saja itu tulisan Karo, karena jika dilihat dari bentuknya, tulisan Karo hampir mirip dengan bentuk tulisan Arab. Namun tidak jelas juga kepastiannya karena di beberapa bagian dinding dalam gua juga banyak coretan-coretan manusia yang iseng mengukir namanya di sana. Rusaklah sudah!
Namun yang paling perlu diperhatikan di sini adalah kondisi Gua Kemang. Cukup memprihatinkan, mengingat gua ini pernah dijadikan sebagai salah satu situs budaya di Sumatera Utara. Jika pemerintah sekarang tak mengindahkan ini, bisa saja Gua Kemang benar-benar akan hilang untuk selamanya.